Minggu, 24 Mei 2015

Pembinaan akhlak



Sebagian besar pembinaan akhlak yag baik lebih bercorak keagamaan, terutama paham tasawuf islami. Pembinaan akhlak dengan cara ini dititik beratkan kepada pembersihan pribadi dan sifat-sifat yang berlawanan dengan tuntutan agama seperti sifat takabur, pemarah dan penipu. Keluhuran akhlak merupakan media untuk memperoleh kepribadian remaja yang baik.
Dengan pembinaan akhlak, tujuan yang ingin dicapai adalah terwujudnya manusia yang ideal, remaja yang bertaqwa kepada Allah dan cerdas. Dan pembinaan akhlak pada remaja ini bertujuan untuk menyempurnakan nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan ajaran islam yang taat beribadah dan sanggup hidup bermasyarakat yang baik.
Dalam dunia pendidikan formal, pembinaan akhlak tersebut dititik beratkan kepada pembentukan mental anak atau remaja agar tidak mengalami penyimpangan. Dengan demikian akan mencegah terjadinya “juvenile dlinquency” sebab pembinaan akhlak berarti bahwa anak remaja dituntun agar belajar memiliki rasa tanggung jawab.
Bagi remaja, akhlak dimulai dengan adanya rasa tanggung jawab, bahwa ia telah mengerti tentang perbedaan antara yang benar dengan yang salah, yang boleh dan yang dilarang, yang dianjurkan dan yang dicegah, yang baik dan yang buruk, dan ia sadar bahwa ia harus mejahui segal Yng berdifat negatif dan mencoba membina diri untuk selalu menggunakan hal-hal yang positif. Bila suatu ketika ia berbuat salah, serta ia sendiri menyadari akan kesalahannya itu, maka ia harus secepatnya berhenti dari kesalahan dan segera kembali kejalan yang semestinya.
Secara kejiwaan manusia dapat berevolusi. Manusia terus berkembang dan kecedasannya selalu meningkat, akibatnya manusia akan sampai kepada tingkatan bijaksana dan akan mampu memikirkan segala persoalan hidupnya dengan baik sesuai dengan tuntutan agama, norma, sosial dan susila.
Pada dasarnya, pelaksanaan pembinaan akhlak secara tasawuf islami akan mampu menuntun anak-anak remaja menjadi manusia dewasa, dalam arti dewasa secara sosial emosional , dan intelektual. Kecerdasan tersebut dapat dilihat dalam hal ini menjadi seorang manusia yang dengan kemampuannya sendiri, memikirkan berbagai persoalan, mengambil kesimpulan, menentukan suatu keputusan, melaksanakan keputusan itu dengan cepat dan bijaksana, serta mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya secara individual dan sasial, ia berpartisipasi secara aktif dan konstruktif didalam berbagai segi kehidupan yang menyangkut kesejahteraan sesama manusia. Ia menjalani pendidikan dan tidak berhenti mendidik diri sendiri. Ia mempunyai pekerjaan yang dilaksanakn sungguh-sungguh, tanggungjawab dan jujur. Ia menjadi manusia bermoral, sholeh dan beriman, ia toleran, ia tidak mengingkari tugasnya sebagai warga negara, dan ia menghormati hukum dan kaidah sosial.
Kegunaan lain yang dapat dipetik dari hasil pembinaan akhlak yakni terhindarnya anak-anak remaja dari tabi’at-tabi’at tercela dan sebagai langkah penanggulangan terhadap timbulnya kenakalan remaja. Denan demikian pembinaan akhlak secara tasawuf islami dapat memberi sumbangan positif bagi ketentraman dan keamanan masyarakat dari kesejahteraan pada umumnya, terutama gangguan dari kenakalan remaja.


Selasa, 19 Mei 2015

Agama adalah benteng diri yang paling kokoh


Di era teknologi informasi ini, kehidupan manusia terasa nyaman, enak kepenak, semuanya serba ada dan bumi ini seakan berada ditelapak tangan karena mudahnya informasi yang dapat diakses. Tetapi dibalik keserbaadaan kehidupan ini ada sesuatu yang sangat memrihatinkan semua pihak yaitu dekadensi moral atau kemerosotan moral. lebih parahnya lagi, ketika manusia telah kehilangan fitrahnya sebagai manusia, sehingga dalam setiap perbuatannya ia tidak menggunakan akalnya, namun hanya menuruti nafsunya.
Jika sesuatu sudah keluar dari fitrahnya, maka tinggal menunggu saat kehancuran. Sebagaimana darah dalam tubuh kita, kadar oksigen, kadar pH, kadar gula, dan tensinya telah ditetapkan dalam ukuran tertentu. Hal ini membuat kita tetap dalam keadaan sehat. Tetapi jika semua itu tidak  dalam keadaan normal (sesuai ukuran), maka akan timbul beberapa penyakit seperti asam urat, diabetes, darah tinggi, serangan jantung, dan lain-lain.
Dekadensi moral dapat disebabkan oleh faktor hakikat manusia itu sendiri, yakni hewan yang berakal. Dari hakikat ini dapat disimpulkan bahwa manusia terdiri dari 2 unsur, yaitu unsur hawaniyah dan unsur aqliyah. Dan diantara unsur-unsur hawaniyah diantaranya adalah kekuatan kesenangan (quwwah syahwiyah) yang meliputi kesenangan jabatan, wanita, harta, kehormatan, dan hiburan. Dan kekuatan marah (quwwah ghadzabiyah) meliputi kesenangan amarah seperti terjadi perkelahian, tawuran, perang antar kelompok dan pembunuhan, dan lain-lain.
Dan sudah banya teori atau usaha yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait untuk mewujudkan akhlak yang mulia sejak zaman perjuangan, seperti yag dilakukan NU dengan gerakan Mabadi’u Khairu ummah dan Taman Siswa yang dicanangkan oleh Ki Hajar Dewantara dan saat ini pemerintah juga telah memandang perlu pendidikan akhlak dengan program yang dikenal dengan PKB (Pendidikan Karakter Bangsa). Ini sebagai bukti bahwa akhlak adalah sesuatu yang sangat prinsipil. Dari beberapa keterangan tentang pendidikan dapat disimpulkan bahwa kunci akhlak yang mulia ada tiga:
1.     Kecerdasan Otak (Intelektual Quotient)
Untuk meningkatkan kualitas manusia sebagai makhluk individu.
2.    Kecerdasan Emosional (Emosional Quotient)
Untuk meningkatkan kualitas manusia sebagai makhluk sosial.
3.    Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient)
Untuk meningkatkan kualitas manusia sebagai hamba Allah SWT.
Yang mamiliki ketiganyaa akan menjadi manusia yang sempurna (insan kamil) yang jenius dan berakhlak sesama manusia dan kepada Allah SWT.
Tetapi apabila hanya karena IQ akan melahirkan manusia yang cerdas otaknya saja tetapi tidak tidak punya perasaan dan ilmunya diperalat untuk mengeruk harta kekayaan tanpa memperdulkan nasib orang lain. Sedangkan EQ akan melahirka orang-orang yang baik hati tetapi dungu cara berfikirnya sehingga, mudah untuk ditipu dan didzalimi orang lain. Dan SQ yaitu suatu kepercayaan kepada Allah SWT yang Maha Mengetahui segala apa yang diperbuat hambanya. Jika orang merasa dirinya selalu diawasi oleh Allah SWT maka ia tidak akan berani berbuat maksiat.
Dari uraian inilah maka disimpulkan  bahwa “Agama adalah Benteng Agama yang Paling Kokoh”



Minggu, 17 Mei 2015

Dualisme Norma dan Perkembangan Sosial Budaya


Era  globalisasi mengharuskan adanya kombinasi antara besarnya laju pertukaran budaya dan system norma yang ada dalam masyarakat berlangsung secara seimbang, sehingga system nilai yang ada di masyarakat tidak mengalami pemunduran.
                Misalnya norma bangsa Indonesia harus bisa mengendalikan cepatnya budaya barat yang masuk dan cenderung merusak norma bangsa indonesia yang berhalauan madzhab timur.
                Pertanyaan yang muncul, apakah bisa norma mencegah infeksi yang sudah diinjeksikan oleh stigma “Orang yang tidak mengikuti kebudayaan orang barat dianggap katrok atau ndeso”?
                Jawaban atas pertanyaan tersebut tentu bersifat subyektif, dan kebanyakan mereka tak percaya, asumsi yang berkembang selama ini mengatakan Westernisasi merupakan siklus alami yang tidak bisa dicegah apalagi dimatikan karena Negara yang maju peradabanya, maka dari negara itulah kebudayaan yang mendominasi dan berintegrasi dengan budaya Negara lain.
                Hal tersebut memang benar, namun peranan norma disini adalah sebagai pengendali dan penyaring (memfiltrat) budaya-budaya yang tidak sesuai dengan nilai (sesuatu yang dianggap bagus oleh masyarakat setempat) budaya asing yang masuk, tentu ada yang sesuai dan bernilai positif bagi bagi Negara, dan ada yang kontradiktis / bernilai negative bagi suatu Negara.
                Menurut kaidah norma yang dibagi menjadi 2 ; yaitu norma formal yang dibuat olek pemerintah, dan norma nonformal yang dibuat oleh kebiasaan masyarakat dan taktertulis,maka seharusnya perkembangan sosial budaya yang  menjurus pada dampak negative dapat diseleksi oleh norma dalam masyarakat (nonformal) dan jika dampak negative yang ditimbulkan dapat membuat kerugian, kehancuran, dan pelanggaran terhadap hukum yang diterapkan pemerintah, maka norma formal dapat mengatasinya dan lebih besar kekuatanya.

                Jadi norma bukan berarti pencegah atas masukanya perkembangan social budaya, atau perkembangan social budaya bisa dicegah dengan adanya norma, namun norma bertindak sebagai pengendali atau control terhadap perkembangan social budaya.